Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Malam Terakhir


Baca bareng BBI Mei 2013 klasifikasi Kumpulan Cerpen


Judul Buku: Malam Terakhir
Pengarang: Leila S. Chudori
Tebal: xviii + 117 hlm; 13,5 x20 cm
Cetakan: 1, November 2009
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia






Bukan kemegahan dan keromantisan Paris yang diangkat Leila S. Chudori dalam cerpen pembuka kumpulan cerpennya -Malam Terakhir- yang berjudul Paris, Juni 1985.  Seorang gadis Asia tiba di Paris pada di saat isu terkini panas yang menggigit, kemudian menyewa kamar kecil di suatu penginapan kumal selama tiga minggu. Penginapan itu milik seorang wanita renta yang memelihara sepasang tikus hitam besar, François dan Françoise. Tapi bukan kedua tikus itu yang bikin si gadis Asia terganggu. Di sebelah kamarnya, tinggal Marc, seorang pelukis yang sering bikin keriuhan dengan suara-suara gila yang menghebohkan. Apa yang bergotong-royong dijalankan Marc dalam kamarnya sehingga mengeluarkan suara-suara aneh, seolah-olah sedang melakukan persetubuhan? Leila menguak fikiran ganjil seorang laki-laki muda yang mengagungkan birahi dalam berkarya.  

Kini gadis itu gres menyadari betapa ia berada di negara asing. Teritori tak dikenal..... Ada satu situasi yang terus-menerus mendesaknya mudah-mudahan ia merasa asing dan sendiri. Paris tak pernah menampilkan kehangatan dan tidak berpretensi untuk menjadi sosok yang hangat. Entah kenapa, ia makin merasa Marc makin bikin Paris menjadi kota yang paling sunyi (hlm, 14-15).

Gadis cukup umur dalam cerpen yang menggunakan namanya selaku judul, Adila, lebih bersahabat dan lebih bisa diketahui ayahnya dibandingkan dengan ibunya. Mengabaikan semua teriakan, kecaman, dan penindasan ibunya, ia mengurung diri dan membaca buku di dalam kamar mandi. 

Aku tak mengerti kenapa saya lahir untuk mesti senantiasa menjadi bayang-bayang ibuku. Semua langkah-langkah dan anutan yang lahir dari diriku senantiasa salah. Karena itu, saya merasa, kamar mandi ini merupakan daerah yang paling menyenangkan. Bak kamar mandi, gayung, odol, sabun, air, dan bahkan taik dalam jamban itu tak akan berteriak-teriak sekalipun saya ingin telanjang selama lima jam. Mereka semua mengerti dan mentolerir keganjilanku.... (hlm. 21).

Buku-buku yang dibaca Adila menjadikannya berimajinasi sedang mengatakan dengan abjad maupun penulis buku. Maka Leila menyuguhkan percakapannya dengan Ursula Brangwen, abjad dalam The Rainbow; A.S. Neill, penulis buku dan pendiri sekolah, Summerhill; Stephen Dedalus, abjad ciptaan James Joyce dalam A Portrait of the Artist as a Young Man. Sebuah insiden tragis menjadi epilog yang mengenaskan dan bikin kita mengernyit dengan respons ibu Adila. Kerap, menyerupai ibu Adila, orangtua bergairah memberi batas sehingga lebih senang anak mereka menjadi menyerupai katak dalam tempurung.

Leila menggugat tolok ukur yang secara jomplang diberlakukan dalam penduduk terkait dengan kesetiaan dalam cerpen Air Suci Sita. Apakah seorang wanita mesti tetap setia dalam suatu hubungan cinta sementara pria boleh mengkhianati kesetiaan itu? Empat tahun di Kanada, seorang gadis Indonesia mati-matian menjaga kesetiaan terhadap tunangannya di tanah air kendati godaan senantiasa datang. Tapi sehabis empat tahun memelihara kesetiaan, tunangannya tiba dan berkata:

Sayang, engkau ternyata seorang wanita yang teguh dan kukuh. Sedangkan saya hanyalah laki-laki biasa. Engkau begitu tegap, mandiri, dan menjaga kesucianmu menyerupai yang diwajibkan oleh masyarakat; sedangkan saya merupakan laki-laki lemah, payah, manja, tak bisa menahan diri. Kami, para lelaki, dimanjakan dengan apa yang dianggap selaku kodrat, kami diberi permisi seluas-luasnya. Kalau kau yang berkhianat, pastilah kau dianggap nista. Tetapi kalau saya yang berkhianat, maka itu dianggap biasa...." (hlm. 47).

Kemunafikan insan dikecam Leila dalam cerpen Sehelai Pakaian Hitam lewat abjad Salikha dan Hamdani. Hamdani menyampaikan gambaran saleh di hadapan umum, seorang pria berbaju putih tanpa noda. Sementara di segi lain, ia berbaju hitam dan hidup dalam kemaksiatan. Salikha yang berlawanan persepsi dengannya, berani telanjang dan jujur dalam berperilaku, tidak baiklah dengan kemunafikan Hamdani.  

Kau menyerupai sekali dengan tokoh Stevenson, dr Jekyll. Tokoh yang tak mau menampilkan kejelekan dalam dirinya. Kemudian kejelekan itu dimanifestasikan lewat tokoh Mr. Hyde. Kau bikin garis yang terlalu aktual antara malaikat dan setan di dalam dirimu. Itu kau laksanakan demi masyarakat, alasannya merupakan penghormatanmu yang berlebihan terhadap mereka. Maka tuhanmu bergotong-royong merupakan penduduk (hlm.54-55).

Mampukah Hamdani hidup terus dalam kemunafikan?

Para tokoh Mahabharata sungguh hidup dalam pikiran Moko yang bermonolog dalam cerpen Untuk Bapak. Menurut Moko, walaupun merupakan lambang kebijaksanaan, Yudhistira susah dimaafkan karena terlibat perjudian dengan Kurawa dan mempertaruhkan Drupadi. Sedangkan Kresna sering berbohong, walaupun demi menyelamatkan Pandawa. Sementara Arjuna, sekalipun tampan, bergotong-royong tidak berhak mempunyai banyak istri. Bagi Moko, Bhisma-lah yang pantas dikagumi. Setelah orangtua Moko bercerai dan ibunya menikah, ternyata ayahnya tidak pernah bermaksud menikah lagi. Itulah yang bikin Moko menyaksikan ayahnya makin menyerupai dengan Bhisma. Dalam surat yang diantarkan pada ulang tahun Moko yang ke-15, ayahnya mengatakan:

Anakku, panah-panah Bhisma itu sudah menjadi urat nadi Bapak. Tapi kau tetap menjadi jantungku (hlm. 67).

Dalam perjalanan pulang dari Eropa menuju Jakarta, Tami dalam cerpen Keats berimajinasi sedang mengobrol dengan John Keats, penyair Inggris permulaan kala 19 yang menulis sajak Tentang Mati (On Death). Keats mengusiknya terkait kepulangannya ke Indonesia. Tami, seorang sarjana sastra Inggris, menyayangi seutuhnya Jean, seorang musisi Eropa, namun pulang ke Indonesia untuk menikahi Hidayat, penyair yang direstui sarat oleh keluarganya. Apa yang mau dijalankan Tami sehabis perbincangan panjang dengan John Keats? Apakah ia akan membiarkan gambaran senang luput menyerupai hantu berlalu? Tami berkata:

Saya tidak ingin menjadi seorang Hamlet kekinian (hlm. 81).

Perempuan dalam cerpen berjudul Ilona memiliki ketekunan yang bertumbuh bareng keleluasaan yang diberikan ayahnya. Keteguhan ini ditampakkannya lewat pandangannya tentang ijab kabul sehabis orangtuanya bercerai pada tahun terakhirnya di SMA. 

Ketika seseorang menetapkan untuk menikah, pada di saat itulah ia mengawali suatu perjalanan yang panjang, asing, dan sarat tantangan.

Titik persoalannya merupakan saya memutuskan untuk berlangsung sendiri, tanpa kawan. Jadi, saya memutuskan rute yang berlawanan dan tidak konvensional, saya akan menanggungnya sendiri tanpa bikin orang lain menderita (hlm. 90).

Setelah tiga setengah tahun tanpa kabar di saat bersekolah di luar negeri, Ilona atau Ona pulang ke tempat tinggal ayahnya. Apakah ia masih menyimpan ketekunan yang serupa dengan yang dimilikinya dulu?

Rain dalam Sepasang Mata Menatap Rain baru berusia dua setengah tahun namun sungguh pandai dan peka. Dalam perjalanan menuju toko buku pada suatu hari Minggu, tanpa sengaja Rain menyaksikan foto seorang anak wanita dengan sepasang mata lingkaran yang pedih di majalah yang dilembari ibunya. Serombongan pertanyaan 'kenapa' pun menggelinding keluar dari mulutnya dan hampir bikin ayah dan ibunya kelabakan. Hal yang serupa terulang manakala Rain menyaksikan anak wanita pemain rebana menyanyi sambil menari dari jendela mobil. Mengapa Rain sungguh bingung sehabis menyaksikan mata pemain rebana itu? 

Matanya menangis, namun tidak ada air matanya.... Itu niscaya alasannya merupakan ia sudah kekurangan airmata, alasannya merupakan ia sudah letih menangis (hlm. 104).

Malam Terakhir menjadi cerpen pamungkas dalam kumpulan cerpen ini. Setelah suatu demonstrasi menentang pemerintah, tiga mahasiswa ditangkap tentara, disiksa hingga babak belur, dan dijebloskan ke dalam penjara. Ketiganya akan dihukum dengan cara digantung di hadapan umum. Pada malam terakhir mereka disekap, seorang gadis yang juga cuilan dari demonstrasi dicampakkan ke dalam penjara yang sama. Gadis itu sudah mengalami penyiksaan di luar batas kemanusiaan. 

Secara paralel, seorang gadis anggun berusia 22 tahun, putri seorang tokoh penting yang terlibat dalam pertumpahan darah mahasiswa, mempertanyakan eksekusi mati yang ditimpakan pada keempat mahasiswa itu. Ia tidak dapat mengerti bagaimana eksekusi mati dilaksanakan tanpa bukti kesalahan para terhukum. Ia juga tidak dapat mengerti mengapa eksekusi mati itu disebut ayahnya selaku pertunjukan seni akbar.  Ia tidak dapat menemukan klarifikasi ayahnya yang menyatakan bahwa:

Dalam semua pertempuran, Sayang, segala gerunjal-gerunjal mesti ditebas habis. Di dalam pertempuran, senantiasa ada kata 'kita' dan ada kata 'mereka'. Siapa saja yang menjadi elemen kata 'mereka' mesti diterabas hingga ke akar-akarnya. Semua elemen mesti menjadi cuilan dari 'kita'.... (hlm. 112).


Edisi Pertama (Grafiti, 1989)

Setelah dua puluh tahun diterbitkan untuk pertama kalinya oleh Pustaka Utama Grafiti (1989), kumpulan cerpen Malam Terakhir diterbitkan kembali oleh Kepustakaan Populer Gramedia (2009). Delapan cerpen disisihkan dan satu cerpen disertakan yakni cerpen Sepasang Mata Menatap Rain. Boleh dibilang, penambahan cerpen ini terkesan dipaksakan dan tidak pada tempatnya berada di antara cerpen-cerpen lain. Leila tidak menerangkan penambahan cerpen ini dalam Pulang: Setelah 20 Tahun.... Ia cuma menyampaikan bahwa:

Malam Terakhir versi gres ini saya seleksi sesuai dengan cita-cita periode masa kini. Saya cuma memutuskan beberapa kisah pendek yang menurut saya mewakili saya dan masih mewakili zamannya. Cerita yang saya pilih ini juga mewakili gaya yang saya pilih sehabis 20 tahun berkelana: gaya sederhana yang dapat mengirim kompleksitas cerita.

Tidak cuma melakukan seleksi, Leila ternyata melakukan revisi dalam beberapa kalimat, walaupun bergotong-royong tidaklah perlu. Membiarkan sebagaimana pertama diterbitkan, sama sekali tidak bikin kisah Leila menyusut kehebatannya.

Dalam keanekaragaman tema yang diseleksi Leila, kita bisa mengenali bahwa keleluasaan berekspresi, kemerdekaan dari penindasan, kelonggaran menetapkan opsi hidup, kesetiaan, kejujuran, integritas, kepekaan, dan keberanian merupakan hal-hal penting yang dianut dan diperjuangkan seorang Leila S. Chudori. 

 
Cetakan Kedua, November 2012


Catatan:
Tulisan ini sebenarnya sudah siap diposting pada 31 Mei 2013 untuk Baca dan Posting Bareng BBI dengan tema Kumpulan Cerpen. Tapi, alasannya merupakan saya mesti pergi ke beberapa daerah di Jawa Timur selama tiga hari dimulai pada 30 Mei 2013, gres bisa diposting hari ini.