12 Menit
Judul Buku: 12 Menit
Pengarang: Oka Aurora
Penggagas cerita: Regina Septapi
Tebal: xiv + 348 hlm; 14 x 21 cm
Cetakan: 1, Mei 2013
Penerbit: Noura Books
12 Menit Untuk Selamanya merupakan film wacana usaha instruktur dan anggota Marching Band Bontang Pupuk Kaltim (MBBPKT) untuk berlaga di Istora dalam rangka memperebutkan juara lazim Grand Prix Marching Band (GPMB). Berdasarkan skenario yang ditulisnya sendiri, Oka Aurora meramu suatu novel pembiasaan yang diberi judul 12 Menit. Mengapa 12 menit? 12 menit merupakan waktu maksimum yang diberikan terhadap suatu grup marching band untuk memperlihatkan agresi mereka di ajang persaingan marching band.
Adalah Rene, instruktur marching band yang dipinang PKT untuk membina MBBPKT. Ia bukanlah Rene Conway yang berkontribusi pada kemenangan marching band itu di GPMB 1994. Ia merupakan seorang (ternyata) perempuan Indonesia, lulusan Amerika, dan pernah bergabung dengan Phantom Regiment, marching band profesional berukuran internasional (seperti Rene Conway). Sejak Sekolah Menengan Atas di Jakarta, Rene sudah aktif dalam acara marching band. Ia pernah bermain di battery, front ensemble/pit percussion, brass, dan bahkan pernah menjadi field commander. Setelah pulang ke Jakarta, Rene melatih marching band suatu perusahaan yang mengungguli juara lazim di GPMB tiga tahun berturut-turut.
Sebagai pelatih, Rene mendesain kehendak yang bergotong-royong tidak muluk-muluk. Ia ingin menjinjing MBBPKT menjadi juara lazim di GPMB. Tidak heran, dalam melatih, Rene kerap bersikap dan mengatakan keras sehingga sering kali menciutkan nyali anggota MBBPKT. Ia tidak cuma mengajar teknik bermain melainkan juga menanamkan kepercayaan pada belum dewasa marching band bahwa jikalau mereka mau, mereka bisa menandingi marching band lain di Jakarta.
Begitu menjadi pelatih, Rene pribadi diperhadapkan dengan keluarnya empat anggota marching band dari section leaders. Maka, ia pun tentukan untuk menjalankan audisi dari belum dewasa cadet band untuk dijadikan tim inti. Hal yang sungguh tidak gampang karena banyak anggota cadet band yang tidak punya potensi sama sekali. Tapi akhirnya, ia sukses melengkapi anggota marching band menjadi sebanyak 120 orang (tidak ada klarifikasi mendetail oleh pengarang). Dan tiga dari anggota marching band ini ternyata cerdas balig cukup akal yang menyimpan permasalahan hidup. Hanya diseleksi tiga orang karena sulit dipercayai semua permasalahan anggota marching band itu diangkat dalam novel ini -kecuali dibikin berseri yang sungguh panjang. Mereka merupakan Tara, Elaine, dan Lahang.
Tara, cerdas balig cukup akal berkerudung, sudah setahun di cadet band di saat Rene memilihnya. Ia merupakan pemain snare drum yang sudah menguasai nyaris semua rudiment. Hanya saja, Tara memiliki kekurangan indera pendengaran di mana kesanggupan mendengarnya cuma sepuluh hingga dua puluh persen. Keterbatasan ini disebabkan oleh suatu kecelakaan yang juga sudah merenggut nyawa ayahnya. Setelah ibunya melanjutkan kuliah S2 di Inggris, Tara tinggal dengan Opa dan Oma-nya di Bontang. Rene-lah yang secara tidak sengaja mendapatkan kesanggupan Tara yang sudah menguasai permainan drum sejak 12 tahun dan memintanya bergabung dengan marching band.
Elaine, gadis cerdas balig cukup akal blasteran, ibu Indonesia dan ayah Jepang, merupakan seorang pemain biola yang berotak encer. Di Jakarta, ia aktif di suatu marching band selaku field commander. Saat ayahnya, Josuke Higoshi, dipindahtugaskan ke Bontang oleh perusahaan tempatnya bekerja, Elaine dan ibunya ikut ke Bontang. Setelah menetap di Bontang, Elaine tentukan bergabung dengan MBBPKT. Ayahnya tidak oke karena lebih senang anaknya menjadi ilmuwan, namun kesudahannya membolehkan dengan syarat Elaine mesti tetap berprestasi di sekolah. Meskipun ingin menjadi field commander, Rene menempatkannya di front ensemble.
Lahang yang memiliki kesanggupan menari dan pemain kunci di color guards merupakan putra Dayak. Remaja dari desa nelayan ini bergabung dengan marching band untuk merealisasikan impiannya: menyaksikan Tugu Monas. "Kalau kamu bisa berkhayal hingga di tugu ini, kamu bisa berkhayal ke tugu-tugu lain di dunia," kata mendiang ibunya (hlm. 295). Untuk menjemput impiannya, ia mesti berlatih fouettes dua puluh putaran dengan tekun.
Demi dua belas menit di Istora dalam perhelatan GPMB, mereka berlatih keras, dalam sepekan tiga hingga empat kali, sore hingga malam hari. Dalam latihan, mereka tidak cuma mengandalkan bakat, melainkan juga ketahanan, ketabahan, dan keuletan. Jika menjalankan kesalahan sudah niscaya mendapat teguran keras, omelan, dan cemoohan. Semua mereka jalani, demi merealisasikan kehendak yang mereka gemakan, di saat mereka meneriakkan: VINCERO!
Tapi, antisipasi untuk menuju Istora dan ikut bersaing untuk menjadi juara umum, ternyata bukan hal yang mudah. Hampir secara simultan problem tiba menghadang. Tara yang ringkih dan sensitif dengan gangguan pendengarannya kehilangan nyali dan mengundurkan diri. Elaine tidak mendapat izin dari ayahnya untuk ikut beraksi di GPMB. Lahang lebih senang mempertahankan ayahnya yang sakit dibandingkan dengan memperagakan kesanggupan fouettes-nya.
Apakah Rene bisa menanggulangi semua problem dan menjinjing grup marching band yang dilatihnya berjaya di GPMB? Ada hal yang perlu dilaksanakan Rene yakni meyakinkan belum dewasa itu dan dirinya sendiri, bahwa dua belas menit di Istora akan menjadi dikala kemenangan mereka.
Rayakan dua belas menit terbaik dalam hidupmu ini. Bersenang-senang dan berpestalah, karena dua belas menit ini merupakan milikmu.Dan, kenanglah dua belas menit ini untuk selamanya (Rene: hlm 323)
12 Menit karya Oka Aurora mengangsurkan ide bahwa untuk merealisasikan suatu kehendak senantiasa diinginkan kerja keras. Setiap departemen dalam marching band mesti melalui ribuan jam latihan yang sungguh menguji ketahanan mental untuk biasa menguasai kiprah masing-masing. Mereka mesti berdiri hingga kaki gemetaran di tengah lapangan menyandang alat musik menyerupai Euphonium, mellophone, tuba, snare drum, quatro, dan bass drum. Para pemain mallet percussion (marimba, xylophone, dan vibraphone) meski tidak menyandang alat musiknya, mesti berdiri beberapa jam selama latihan. Pemain trompet menahan bibir yang perih dan rahang yang kaku serta nyeri karena meniup trompet dalam waktu yang lama. Latihan yang menguras waktu seperti tidak cukup, mereka pun mesti menahan perasaan dikala mendapat teguran keras dan omelan dari para pelatih. Selain itu, mereka dituntut bisa mengalahkan diri sendiri, mengalahkan banyak sekali godaan yang dapat mengacaukan latihan mereka. Novel ini memperbesar kesusahan lain yang mesti mereka hadapi. Sebagai manusia, hidup mereka pun tidak akan pernah steril konflik, menghasilkan mereka terjepit, dan kadang berpikir mengalah merupakan kesimpulan terbaik. Inilah yang menjadi pertentangan paling besar yang menantang Rene, namun juga memberikannya kepercayaan bahwa jikalau belum dewasa itu dapat diarahkan untuk menanggulangi semua kendala, kemenangan bukan sesuatu yang menyibukkan diraih.
Dari ketiga abjad anggota marching band yang ditonjolkan, Lahang yang memperlihatkan kisah paling mengharukan dan menghangatkan hati. Ia sungguh menyayangi ayahnya dan tak ingin pria yang sedang sakit itu meninggal pada dikala ia sedang tidak berada di rumah. Tapi ayahnya sendiri, dalam ketidakberdayaannya, berupaya menghidupkan semangat Lahang untuk merealisasikan impiannya. Kisah Lahang akan melebihi kisah Tara dan Elaine hingga penggalan pamungkas novel.
Novel ini menjadi cukup memukau karena ditulis dengan tidak mengecewakan baik dan yummy dibaca. Berbagai perumpamaan dalam marching band bisa didapatkan penjelasannya dalam glosarium yang dilampirkan sehingga pembaca tidak akan kebingungan. Terasa sekali, Oka Aurora tidak sekadar memindahkan isi skenario dengan menyertakan narasi atau deskripsi secukupnya. Kemungkinan besar karena skenarionya merupakan karyanya sendiri, maka tidak terlampau sulit untuk mengembangkannya dalam bentuk novel. Alhasil, 12 Menit, tetaplah bisa dicicipi secara terpisah dari filmnya.
Karena memperlihatkan grup marching band, pesona utama novel ini sudah niscaya merupakan kisah tentang grup marching grup band yang rasanya belum pernah diangkat secara khusus dalam karya fiksi Indonesia. Dalam model filmnya, kita bisa pribadi menyaksikan -tanpa perlu membayangkan- permainan full grup band yang dilaksanakan oleh grup MBBPKT ini. Tapi dalam novel ini, memang agak sulit membayangkan, karena pengarang tidak menjabarkan dengan gamblang. Komentar para instruktur selain Rene yang dimunculkan di saat grup marching band itu bermain full band untuk pertama kalinya tetap tidak menolong imajinasi kita. Kalimat yang berbunyi "Dan, permainan marching band itu selsai dengan dentuman yang meremangkan bulu kuduk" tentunya masih jauh sekali dari cukup.
Saya sempat galau dengan abjad Rene. Sejak abjad ini diperkenalkan, pengarang seakan-akan lupa menginformasikan pembaca bahwa Rene dalam novel ini merupakan seorang wanita, dan bukan laki-laki. Nama Rene yang disematkan pada instruktur MBBPKT memang akan pribadi menghubungkan kita terhadap Rene Conway, instruktur MBBPKT yang sejatinya merupakan seorang laki-laki. Tidak ada klarifikasi yang mencukupi terkait dengan bersedianya Rene meninggalkan Jakarta dan menjadi instruktur MBBPKT. Apakah keputusannya ini disebabkan karena honor yang besar? Kesan yang timbul hanyalah Rene sukses 'dipaksa' oleh Corporate Communication PKT. Seharusnya, pengungkapan salah satu penggalan masa kemudian Rene menjelang penggalan selesai novel bisa lebih dieksplorasi lebih dalam untuk menimbulkan pertentangan lain yang tidak akan menghasilkan novel ini berlarat-larat. Sayangnya, pengungkapan ini memang dimunculkan tanpa antisipasi sebelumnya.
Karena memperlihatkan grup marching band, pesona utama novel ini sudah niscaya merupakan kisah tentang grup marching grup band yang rasanya belum pernah diangkat secara khusus dalam karya fiksi Indonesia. Dalam model filmnya, kita bisa pribadi menyaksikan -tanpa perlu membayangkan- permainan full grup band yang dilaksanakan oleh grup MBBPKT ini. Tapi dalam novel ini, memang agak sulit membayangkan, karena pengarang tidak menjabarkan dengan gamblang. Komentar para instruktur selain Rene yang dimunculkan di saat grup marching band itu bermain full band untuk pertama kalinya tetap tidak menolong imajinasi kita. Kalimat yang berbunyi "Dan, permainan marching band itu selsai dengan dentuman yang meremangkan bulu kuduk" tentunya masih jauh sekali dari cukup.
Saya sempat galau dengan abjad Rene. Sejak abjad ini diperkenalkan, pengarang seakan-akan lupa menginformasikan pembaca bahwa Rene dalam novel ini merupakan seorang wanita, dan bukan laki-laki. Nama Rene yang disematkan pada instruktur MBBPKT memang akan pribadi menghubungkan kita terhadap Rene Conway, instruktur MBBPKT yang sejatinya merupakan seorang laki-laki. Tidak ada klarifikasi yang mencukupi terkait dengan bersedianya Rene meninggalkan Jakarta dan menjadi instruktur MBBPKT. Apakah keputusannya ini disebabkan karena honor yang besar? Kesan yang timbul hanyalah Rene sukses 'dipaksa' oleh Corporate Communication PKT. Seharusnya, pengungkapan salah satu penggalan masa kemudian Rene menjelang penggalan selesai novel bisa lebih dieksplorasi lebih dalam untuk menimbulkan pertentangan lain yang tidak akan menghasilkan novel ini berlarat-larat. Sayangnya, pengungkapan ini memang dimunculkan tanpa antisipasi sebelumnya.
Ada kedatangan abjad yang memicu pertanyaan, yakni pemain trompet berjulukan Rob (Bab Lima). Mungkin, kemunculannya dimaksudkan untuk memperlihatkan pembelajaran bagi pembaca tentang keuletan yang menghadirkan berkah. Tapi, jikalau dihubungkan dengan kisah utamanya, kedatangan Rob seakan-akan benang lepas dari keseluruhan kisah. Ia memang pernah menjadi anggota MBBPKT namun tidak berpartisipasi dalam GPMB yang hendak dibarengi MBBPKT. Kemunculannya justru berhubungan dengan kepergiannya untuk bergabung dengan The Blue Devils, salah satu drum corps terbaik di Amerika. Jadi, kenapa Rob dipaksakan menjadi penggalan dari novel ini?
Kesalahan kecil yang lain yang semestinya tidak perlu terjadi merupakan Nuraini, anggota pit percussion yang dalam satu halaman mendapat dua nama panggilan dari Elaine, Ni dan Nur (hlm. 264).
Bagian yang paling memicu pertanyaan merupakan latar waktu terjadinya kisah 12 Menit ini. Mencermati warta yang ada dalam novel ini, walaupun bisa dikaitkan dengan bencana yang terjadi pada tahun 1994, kisah dalam novel ini sepertinya terjadi setelah momen kemenangan pertama MBBPKT dalam persaingan GPMB. Padahal, bukankah justru kisah dalam novel ini merupakan tentang momen menegaskan dalam sejarah MBBPKT yang inspiratif itu? Oleh karena itu, saya menyimpulkan kalau novel ini sekadar didasarkan pada apa yang pernah dialami MBBPKT. Apalagi pelatihnya bukanlah Rene Conway, melainkan Rene yang identitas gendernya telat diungkapkan.
Catatan:
*) Fim 12 Menit Untuk Selamanya yang dibuat oleh Big Pictures Production dijadwalkan akan tayang pada 29 Agustus 2013. Film kode sutradara Hanny R. Saputra ini diramaikan oleh para pemain menyerupai Olga Lydia, Niniek L. Karim, Hesti Putri, Didi Petet, Verdi Solaiman, dan Noboyuki Suzuki. Sebagai aktor utama merupakan Titi Rajo Bintang -sebelumnya dipahami selaku Titi Sjuman- yang didapuk menjadi Rene, Amanda Sutanto selaku Elaine, Hudri selaku Lahang, dan Arum Sekarwangi selaku Tara.
**) Saat dibentuk, Marching Band Bontang Pupuk Kaltim (MBBPKT) berjulukan Marching Band Yayasan Pupuk Kaltim dan berada di bawah Yayasan Pupuk Kaltim. Awalnya, cuma ditujukan untuk pegawai dan belum dewasa pegawai PT Pupuk Kaltim. Setelah mengikuti Grand Prix Marching Band (GPMB) pada tahun 1980 menjinjing nama PT Pupuk Kaltim, namanya menjadi Marching Band Pupuk Kaltim. Pada tahun 2002, diubah menjadi Marching Band Bontang Pupuk Kaltim (MBBPKT) dan membuka potensi bagi penduduk Bontang untuk menjadi anggota.
MBBPKT dipahami selaku grup marching band yang menjangkau 10 kali juara lazim di Grand Prix Marching Band, di mana beberapa di antaranya dicapai secara berturut-turut. Rene Conway dan Andrew Dougherty merupakan dua instruktur aneh yang direkrut oleh PKT untuk melatih MBBPKT hingga mengungguli juara lazim pada GPMB tahun 1994, untuk pertama kalinya. Kemenangan ini menepis mitos yang menyatakan bahwa juara lazim senantiasa milik grup marching band asal Jakarta.
Pada GPMB tahun 1994 itu, MBBPKT membawakan lagu berjudul Nessun Dorma, di mana di dalamnya terdapat kata "Vincerò" yang memiliki arti Saya Akan Menang. Kata itu menjadi penyemangat bagi setiap anggota MBBPKT untuk berlatih dan mengungguli kompetisi. MBBPKT mendapat penghargaan internasional yakni Sudler Shield Award (1998) dan Band of the Year (2001) dari World Association of Marching Show Bands.


