Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Enigma


Judul Buku: Enigma
Pengarang: Yudhi Herwibowo
Penyunting: Anin Patrajuangga
Tebal:224 halaman
Cetakan: 1, 2013
Penerbit: Grasindo



Mereka memulai pertemanan dikala sama-sama menjadi mahasiswa di Jurusan Ilmu Komunikasi UGM. Kerap mereka menghabiskan waktu di bawah sebatang pohon asem besar yang menaungi meja panjang suatu warung lotek di daerah Kanisius, Yogyakarta.  Mereka yakni Hasha, Chang, Patta, Goza, Isara, dan Kurani. Setahun menjalin pertemanan, Kurani meninggalkan Yogyakarta dan pindah kuliah di Jakarta. Maka, Isara menjadi satu-satunya wanita dalam lingkaran pertemanan itu. 

Dengan wajahnya yang cantik, Isara bikin teman-teman lelakinya tertarik, kecuali Chang. Tapi cuma satu yang menjadikannya memiliki perasaan yang sama, Hasha. Sejak pertama kali mengenal Hasha, Isara sudah bersimpati pada pria pendiam yang senang menulis sajak itu. Yang mengagetkan Chang, walaupun sepertinya Isara membalas perasaan Hasha, ternyata kekerabatan mereka tidak berlanjut. Isara malah mengakrabkan diri dengan Patta. Bahkan, sehabis menyelesaikan kuliah, Isara menikah dengan Patta kemudian diboyong sang suami yang menjadi salah satu staf jago di Senayan. 

Hampir tiga tahun hidup bareng kesadaran Patta tersentak oleh kenyataan kalau bahwasanya Isara tidak pernah mencintainya. Suatu hari, Patta mesti berhadapan dengan usul Isara untuk tidak melanjutkan ijab kabul mereka. Tapi sehabis bercerai, ternyata tidak gampang bagi Patta melalaikan Isara. 

Begitu diwisuda, cuma Hasha satu-satunya yang menetap di Yogyakarta. Hasha melakukan pekerjaan selaku wartawan di suatu koran lokal. Saat menulis tentang problem korupsi, pria yang senang bicara pada lilin-lilin itu mengalami penganiayaan yang menjadikannya meninggalkan Yogyakarta dan pindah ke Solo. Di sana, ia tetap bekerja, yakni selaku wartawan lepas sambil berharap bisa menulis novel. Keputusan menetap di Solo mempertemukannya kembali dengan Kurani yang bikin kekerabatan cinta yang secepatnya akan dikukuhkan dalam pernikahan. 

Isara kembali ke Yogyakarta sehabis mendapatkan undangan ijab kabul Hasha dan Kurani. Tapi tujuan terutama bukanlah untuk berkemas-kemas menghadiri ijab kabul kedua temannya. Ada kenangan masa kemudian yang terus memanggilnya, kenangan masa kemudian berjulukan Marga. Kenangan masa kemudian itu memaksanya kembali namun bukan untuk mengakhiri pengaruh yang ditimbulkannya dalam kehidupan Isara, tergolong kehidupan cintanya yang gagal. Kepulangannya ke kota kelahirannya mau tidak mau menenteng Isara berjumpa lagi dengan pria yang dicintainya. 

Pada dikala yang sama, Chang dan Goza yang tinggal di Jakarta sedang berada di Yogyakarta. Setelah lulus kuliah, Chang yang berjulukan orisinil Indiray menjajal mengadu nasib selaku jurnalis di Jakarta. Kegagalan menuntunnya ke dalam Pondok Pertobatan, suatu sekte yang menjadikannya mendapatkan dirinya. Gara-gara kerusuhan SARA yang melanda Solo, kepercayaan Chang pada Tuhan sempat goyah sehubungan dengan yang dialaminya selaku cowok keturunan Cina. Chang kembali ke Yogyakarta bukan sebab hendak menghadiri ijab kabul Hasha, teman dekat terbaiknya. Bahkan ia tidak tahu kalau Hasha akan menikah. Seperti Isara, kepulangannya juga membawanya berjumpa dengan Hasha. Di antara teman-teman Isara, cuma Goza-lah yang mengenali argumentasi Isara mengusir Hasha dari kehidupannya. 

Goza tiba ke Yogyakarta, juga bukan sebab memperoleh undangan ijab kabul Hasha dan Kurani. Seperti Chang, sehabis berpisah, Goza tidak pernah lagi berafiliasi dengan teman-temannya. Sejak permulaan Goza memang tidak bermaksud menjadi sobat Hasha, Chang, dan Patta. Ia tetap berada dalam lingkaran pertemanan cuma sebab tertantang untuk menaklukkan Isara. Goza tiba ke Yogyakarta untuk menjalankan pekerjaannya: membunuh seseorang yang identitasnya tidak diketahuinya. Goza yang konsentrasi hidupnya yakni menyetubuhi setiap wanita yang dihasratinya memang melakukan pekerjaan selaku pembunuh bayaran. 

Pertanyaan-pertanyaan yang timbul selama membaca adalah: apakah yang mau terjadi di Yogyakarta dikala para tokoh itu berada di sana dan tidak dapat menyingkir dari terjadinya pertemuan? Mungkinkah mereka akan bersentuhan lagi di satu titik menyerupai momentum mereka menghabiskan waktu di meja panjang warung lotek itu? Apakah kesannya Isara bisa mengungkapkan argumentasi kepergiannya dari hidup Hasha? Apakah Hasha bisa melanjutkan pernikahannya dengan kemunculan wanita yang masih dicintainya? Apakah Chang dan Goza sanggup menunaikan maksud kedatangan mereka ke Yogyakarta? Jawaban dari semua pertanyaan ini akan diungkapkan satu demi satu di sepanjang plot menuju cuilan pamungkas yang mencekam dan dramatis. 

Enigma yang ialah salah satu dari 31 Naskah Pilihan yang terjaring dalam kontes PSA (Publisher Searching for Author) yang diadakan Penerbit Grasindo ini ditulis menggunakan plot maju-mundur yang memanggil penasaran. Setelah prolog yang bikin kita bertanya-tanya, pengarang memamerkan peluang setiap huruf utama -Hasha, Isara, Patta, Chang, dan Goza- membagikan dongeng hidup mereka secara seimbang. Setiap cuilan mereka akan mengungkapkan pengalaman dan membongkar semua kenangan mudah-mudahan kita mengetahui karakter, hasrat, kerinduan, kekecewaan, dan kegagalan dalam hidup mereka. Kita akan dibentuk bersimpati dengan mereka dan ikut menyesal pada setiap tuntunan takdir yang tidak menenteng mereka pada kebahagiaan. Pengarang memang cukup 'sadis' mempermainkan nasib para karakter. Sampai lembar terakhir novel ini kita tidak akan mendapatkan banyak optimisme akan kehidupan dan cinta yang lebih baik. Tapi, jujur saja, secara pribadi saya menatap opsi yang diambil pengarang terhadap nasib semua karakternya ialah opsi yang sempurna untuk memamerkan sengatan yang signifikan terhadap para pembaca. 

Pilihan menggunakan lebih dari satu narator orang pertama memang menantang namun agak riskan, terlebih menggunakan lima narator. Karena mereka memiliki kepribadian berbeda, mereka akan berkisah dengan cara mereka sendiri. Artinya, pengarang mesti bisa bikin kekhasan pada setiap narator sehingga bunyi mereka pribadi bisa dipahami sekalipun tidak diberi tahu secara pribadi siapa yang sedang berkisah. Ada pengarang yang menentukan membedakan cara huruf menyebut diri (aku, saya, gue) kendati tetap saja bunyi semua huruf masih terasa homogen. Yudhi Herwibowo menentukan untuk secara pribadi menginformasikan siapa narator yang sedang berkisah. Semua huruf menyebut diri mereka 'aku' dan bertutur dengan gaya yang persis sama alias gaya Yudhi Herwibowo sendiri. 

Setiap permulaan suatu bab, kita akan mengikuti dongeng yang dicetak miring yang ditulis menggunakan plot kilas balik. Tidak terlalu lama, kita akan secepatnya mendapatkan kaitan dongeng ini dengan dongeng utama. Cukup disayangkan bahwasanya sebab keterkaitan kedua dongeng itu akan lebih memamerkan pengaruh jikalau gres diungkapkan pada cuilan pamungkas. 

Enigma mau tidak mau menghidupkan kembali kenangan pada beberapa problem yang pernah terjadi di Indonesia. Melalui dongeng huruf Chang, kita teringat problem Lia Aminuddin atau Lia Eden dengan golongan iman berjulukan Kaum Eden (sebelumnya berjulukan Salamullah). Sedangkan lewat dongeng huruf Hasha, kita teringat problem penganiayaan yang rampung dengan janjkematian wartawan Harian Bernas Yogyakarta, Fuad Muhammad Syafruddin atau Udin,  pada Agustus 1996. Kasus pembunuhan menggunakan pembunuh bayaran yang antara lain dimunculkan lewat dongeng Patta bukan lagi hal yang gres sebab sudah pernah terjadi di Indonesia. 

Kenikmatan membaca novel ini berkali-kali disela oleh kesalahan cetak. Saking melimpahnya, terasa sungguh mengusik selama pembacaan. Penyuntingan yang kurang tangkas pun menyisihkan kalimat-kalimat yang masih memerlukan pembenahan. Belum lagi beberapa inkonsistensi yang tidak terkoreksi. 

Ada beberapa hal yang bahwasanya bisa disingkirkan yang sempat saya tandai dalam Enigma

1. Pondok Pertobatan sempat menjadi Rumah Pertobatan (hlm. 14).

2. Sepasang hamster ditaruh bahu-membahu dalam akuarium lingkaran dengan sepasang kura-kura Brasil dan sepasang ikan mas koki rembulan (hlm. 9).

3. Isara terlampau banyak menelan aspirin sekaligus dan dilaksanakan dua kali (hlm. 55-56). Bukankah sebutir aspirin cukup untuk meredakan sakit kepala? Beberapa butir mungkin akan melukai lambung Isara.

4. Warung koboi menjadi warung coboy (hlm. 113).

4. Kalimat berbunyi: "Karena sudah bukan lagi milik keluarga Isara..." (hlm. 137) ialah kalimat janggal. Saya sempat menduga narator sudah berpindah ke Hasha dan lupa diberi tahu pengarang, namun sehabis meneruskan pembacaan, ternyata  masih Isara yang menjadi narator. 

Seolah-olah hendak mengingatkan pembaca pada karya lainnya, pengarang sempat menyebutkan dua karyanya dalam novel ini. 

Saat saya selesai membaca novel Pandaya Sriwijaya, saya akan menyebut diriku Samudra, menyerupai nama tokoh utama di novel itu, Tunggasamudra (Goza: hlm. 22). 

Ada suatu kafe yang unik di daerah Soedirman. Namanya Cafe Untung Surapati (Patta: hlm. 65).