Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Memento





Judul Buku: Memento
Pengarang: Wulan Dewatra
Penyunting: Alit Tisna Palupi
Tebal: vi + 266 hlm;  13 x 19 cm
Cetakan: 1, 2013
Penerbit: GagasMedia






Shalom, gadis dengan mata berupa buah badam, akan secepatnya menikahi Harmein Khagy, tunangannya. Selain melakukan pekerjaan menciptakan konsep yang hendak dibuat Sonya Clothing -tempatnya bekerja,  Shalom juga tak lupa mendesain busana pengantin baginya sendiri. 

Sayangnya, sebelum denah yang dibuatnya mewujud dalam sehelai busana pengantin berupa kebaya modern, Harmein meninggalkannya, mati di atas meja operasi dalam suatu pembedahan yang gagal. Yang tersisa dari Harmein hanyalah kenangan, cincin pertunangan yang tetap melingkari jari cantik Shalom, dan telepon genggam dengan SIM card yang tetap diaktifkan -sehingga kalau rindu, Shalom bisa mengantarkan SMS. 

Kematian Harmein dilihat Wirya selaku kesempatan untuk mempunyai Shalom. Wirya merupakan manajer buatan di Sonya Clothing. Lantaran obsesinya pada Shalom, ia tentukan pertunangannya dengan Dayu dan berharap Shalom bisa meninggalkan Harmein. Bukannya menerima, Shalom malah menganjurkannya untuk kembali pada Dayu. Dilanda kegusaran karena ditolak terus-menerus, Wirya berbuat nekat dan menyerang Shalom. 

Setelah penyerangan yang ditangani Wirya, menenteng kotak mimpi dan ratapan, Shalom meninggalkan pekerjaaan, apartemennya, dan kota Bandung. Ia pergi ke Indihiang 1, peternakan yang diwariskan ayah angkatnya kepadanya. Peternakan itu terletak di provinsi di ujung barat Pulau Jawa yang berpantai (yang dimaksud tentunya Banten). Selain peternakan, Indihiang I sudah bermetamorfosis perkebunan organik pula.  

Sampai di kota kecil dengan sejarah para jawara, ada indikasi kalau Shalom akan terlibat relasi cinta dengan Teguh Mohesa, manajer Indihang 1. Tapi ternyata ada pria lain yang kehadirannya cukup mencuri perhatian Shalom gara-gara muka masamnya. Elgar, nama pria itu, merupakan putra dari pemilik Indah Katering dan konsumen Indihiang 1. Ia melakukan pekerjaan selaku reporter televisi di Ibu Kota, punya kedai ramen bersahabat wilayah kampus, namun senantiasa berada di kota kecil itu. 

Dalam tempo singkat, Shalom dan Elgar sudah menjalin cinta, dan tanpa mencampakkan banyak waktu, Elgar pun melamar Shalom menjadi istrinya. Sekalipun tidak direstui ibu Elgar karena asal-usul Shalom yang tidak jelas, mereka tetap menikah dan membangun suatu rumah di bersahabat laut. Awalnya, ijab kabul mereka terlihat bahagia. Secara rutin, Elgar pulang untuk menjumpai Shalom. Tapi setelah berjumpa lagi dengan Kinanti, mantan kekasihnya, Elgar bertujuan menceraikan Shalom, dan kembali pada Kinanti. Sementara itu, tanpa Shalom sadari, bayangan buruk dari masa lalunya kian mendekati rumahnya, mengintai untuk mewujudkan dendam kesumat.

Apakah Elgar sungguh-sungguh akan meninggalkan Shalom demi Kinanti? Apakah Shalom bisa menepis bayangan buruk dari masa lalunya dan menjaga keutuhan rumah tangganya?

Sebenarnya, kisah yang dipersiapkan Wulan Dewatra dalam Memento cukup bikin penasaran. Cinta diramunya dengan permasalahan kesetiaaan, obsesi yang mencelakakan, dendam kesumat yang tidak pernah padam, dan kepahitan yang berakar dari masa lalu. Sayangnya, semua bagian yang mempunyai potensi bikin novel ini tampil cemerlang diramu dengan dosis dan campuran yang tidak tepat. Hasilnya merupakan jalinan kisah yang melompat-lompat dalam plot yang terburu-buru dan miskin ekplorasi. Keseluruhannya tidak kompak dan susah membangkitkan perasaan dikala membacanya. Terkesan seumpama saduran skenario film dengan penambahan bumbu secukupnya, tanpa menimbang-nimbang bahwa bahasa gambar dan bahasa goresan pena mempunyai imbas berlawanan dalam mempengaruhi perasaan penikmatnya. 

Kisah dalam plot yang terburu-buru mempunyai efek pada karakterisasi yang timpang dan sungguh meragukan. Perkembangan abjad melalui pertentangan dalam hidup terjadi begitu saja tanpa membutuhkan proses yang meyakinkan. Shalom sebaiknya sungguh mengasihi Harmein. Buktinya, ia tetap menyimpan dan mengaktifkan telepon genggam Harmein serta bikin kotak mimpi dan ratapan. Tapi tetap saja, susah mencicipi cintanya terhadap pria yang meninggal dunia dikala hari ijab kabul mereka sudah dekat. Semakin susah rasanya di saat ia berjumpa Elgar dan dengan proses yang lempeng dan cepat, ia pun memindahkan cintanya pada pria itu. Bagaimana mungkin Shalom tidak mengalami sama sekali perbenturan perasaan dan fikiran menghadapi pergeseran dalam hidupnya? Apakah tidak pernah ada kebimbangan yang timbul dalam dirinya? Ada kesan Wulan ingin memperlihatkan Shalom selaku abjad wanita yang kuat. Sayangnya, pribadi tumbang dengan ketidakmampuan Shalom menahan Elgar tetap setia dengan ijab kabul mereka. 

Demikian pula yang terjadi pada abjad Elgar. Ketika ia mulai sering timbul dalam kehidupan Shalom, Wulan tidak pernah menceritakan efek yang ditimbulkan oleh perpisahannya dengan Kinanti tiga tahun sebelumnya. Apa yang bekerjsama sudah terjadi? Apakah perpisahan mereka terjadi karena impian sepihak dan Elgar sungguh-sungguh masih cinta mati padanya? Apakah Shalom sekadar pelariannya? Kita tidak akan mendapatkan jawabannya, sehingga sungguh asing di saat Elgar berjumpa kembali dengan Kinanti, ia secepatnya berniat menceraikan Shalom dan berafiliasi dengan Kinanti seumpama dulu. Alhasil, karakterisasi yang dangkal ini cuma mengesankan kalau disengaja Wulan untuk bikin sedikit kerepotan dalam novelnya, yang sebenarnya, mubazir. 

Selain ketimpangan karakterisasi dan kejanggalan yang disebabkannya, novel ini juga mengandung kejanggalan lain yang membuat pertanyaan.

Setelah Harmein meninggal, Shalom tetap mengenakan cincin pertunangannya di jari manisnya. Setelah menikahi Elgar, cincin itu tetap dipakai bersisian dengan cincin ijab kabul mereka. Bukankah tetap memakai cincin pertunangan dengan Harmein merupakan semacam proklamasi kalau Shalom tidak mengasihi Elgar dengan utuh? Bagaimana mungkin Elgar membiarkan hal ini dan tidak menyediakan kecemburuan sekalipun pada orang yang sudah mati? 

Menjelang novel berakhir, Wulan menimbulkan Shalom yang murka pada orangtua kandungnya yang membuangnya di panti asuhan (sebelum diadopsi ayah angkatnya). Apakah sebelumnya Shalom tidak memendam perasan murka karena diabaikan orangtua kandungnya dan gres timbul belakangan? Mengapa perasaan murka itu tidak timbul pada dikala pernikahannya dengan Elgar ditentang ibu Elgar karena asal-usulnya yang tidak jelas?  (yang bekerjsama merupakan wangsit kedaluwarsa yang bikin kening mengernyit). 

Lalu, apa pula yang terjadi dalam hidup Lunar, adik Elgar? Apakah ia kesudahannya menikah dan memakai gaun konsep Shalom? Mengapa setelah Elgar dan Shalom menikah, ijab kabul Lunar sedikit pun tidak lagi disinggung? 

Pada akhirnya, sungguh disayangkan, wangsit kisah yang cukup menawan terpuruk menjadi novel yang sarat retakan di sana-sini. Wulan Dewatra yang sudah mempublikasikan novel Hujan dan Teduh (2011) - juara pertama kontes 100% Roman Asli Indonesia, dan terlibat dalam Gagas Duet bertajuk Harmoni (2012) masih belum bisa mencuri perhatian saya. 

Sejumput pesan indah yang dapat saya petik dari lembar-lembar novel ini merupakan apa yang dibilang Elgar pada Shalom (hlm. 258): 


Memaafkan bukanlah kado yang kita berikan pada orang lain. Memaafkan merupakan pembebasan bagi diri kita sendiri .