Barbitch
Judul Buku: Barbitch
Pengarang: Sagita Suryoputri
Penyunting: Mirna Yulistianti
Tebal: 178 halaman
Cetakan: 1, September 2013
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Berbagai wanita bisa kita dapatkan dalam kumpulan cerpen Barbitch karya Sagita Suryoputri. Bukan wanita konvensional yang tunduk pada norma dan adab yang berlaku. Bukan wanita biasa. Perempuan-perempuan dalam cerpen-cerpen Sagita bersikap seenak perutnya dalam merespon kehidupan dan tidak pantang melakukan hal-hal yang dianggap negatif oleh masyarakat.
Raya -karakter wanita dalam cerpen pembuka yang bertajuk BFF- adalah seorang pemabuk yang mencari nafkah dengan cara melacur. Ia berasal dari keluarga disfungsional dan memiliki masa kemudian yang kelam. Ia menjalin persahabatan dengan Bram -seorang penulis sekaligus pedagang narkoba paruh waktu- yang dapat mendapatkan ketidakberesan hidup dan perilakunya. Bagi Raya, Bram ialah pantulan cermin dari sosoknya. Bram sungguh mengenalnya dan paham banyak sekali kebiasaan dan kesukaannya. Seperti persahabatan kedua insan berlawanan gender dalam film When Harry Met Sally, cinta pun timbul di antara mereka. Bram yang tidak dapat menahan dirinya. Pertanyaannya, apakah Raya bisa mendapatkan cinta seorang sahabat? Sebagai suatu cerpen, BFF sebenarnya bisa dipadatkan biar lebih konsentrasi dan lebih terperinci mau dibawa ke mana. Perampingan akan menghasilkan cerpen ini tidak terlampau membosankan dibaca.
Barbitch yang dijadikan judul cerpen dan dinobatkan selaku judul kumpulan cerpen ini ialah kependekan dari Barbie Bitch. Cerpen ini berkisah ihwal perempuan-perempuan yang tidak berwajah manis ataupun berbadan montok seumpama Barbie. Tapi mereka bersikeras bergaya seumpama Barbie dan tidak segan mengambil jalan pintas. Mereka yakni Vega, Mila, dan Mentari yang menjadi narator cerpen. Sangat sedikit kesan yang tersisa sehabis membaca cerpen yang terasa kerontang ini.
Narator cerpen Lipstik Merah Tua kerap menyaksikan ibunya bersolek dan memakai lipstik merah muda. Suatu kali ia bertanya: “Kenapa Mama pakai warna itu?” Ibunya menjawab: “Mama kurang suka dan nggak cocok pakai warna merah tua, Mama jadi kelihatan lebih tua.” (hlm. 52). Setelah berumur 19 tahun dan menjadi pramugari, ia menentukan memakai lipstik merah tua. Alasannya: "Karena saya suka. Supaya terlibat lebih dewasa." (hlm. 63). Kisah dalam cerpen ini juga kurang terperinci mau dibawa ke mana. Awalnya saya menerka akan berkisah ihwal pertemanan sang narator dengan Mey Mey, namun ternyata kisahnya tidak meningkat ke sana. Tiba-tiba, kisah yang dibuka oleh narator yang masih Sekolah Menengah Pertama sudah berpindah terhadap narator yang sudah bekerja, punya pacar namun tetap memoroti lelaki beristri.
Perempuan lain yang menilai memoroti lelaki berduit yang kepincut padanya ialah hal yang masuk akal timbul lagi dalam cerpen Kakak. Sejak Sekolah Menengan Atas kelas dua, wanita yang menjadi narator cerpen ini sudah berafiliasi dengan lelaki berduit berusia lebih dari 50 tahun. Laki-laki itu meminta si wanita memanggilnya Kakak. Berkat Kakak, wanita ini bisa menyanggupi segala kebutuhannya, bahkan merampungkan perkara finansial keluarga. Tapi mereka alhasil berpisah. Perempuan yang alhasil menjadi pramugari ini yang memutuskan, dan kelak mesti menyaksikan pergeseran Kakak saat mereka berjumpa lagi.
Wajar kalau kekasihnya pastikan korelasi dengan Mala untuk keempat kalinya. Mala yang yakni narator cerpen Pesta seorang wanita pemabuk yang dituduh kekasihnya tidak dapat memperbaiki dan menjaga korelasi mereka. Untuk mengobati kesedihan dan kesepiannya, Mala mencemplungkan diri ke dalam pesta demi pesta. Apakah ia akan tetap berpesta terus dan tidak mau berubah? Mungkin ia akan berubah, karena katanya: Tiba-tiba saya kangen sama siang. Maaf ya malam, saya mesti pulang. (hlm. 96). Terlalu rempong berpuitis-ria, cerpen ini kian tidak terperinci arahnya. Dan yang menjengkelkan, nama Pratama menjelma Radja di halaman yang serupa (hlm. 86).
Judul Stranger in My Bed sebenarnya memanggil tanya. Perempuan yang menjadi narator cerpen ini sama sekali tidak menceritakan orang abnormal di ranjangnya. Ia menceritakan enam dari dua puluh lima lelaki yang pernah mengunjungi hidupnya; salah satunya tiba dua kali. Mereka tiba kemudian pergi, dengan atau tanpa alasan. Meskipun demikian, wanita ini tidak putus asa, karena ...
Kini yang tersisa hanyalah aku, sebungkus rokok, dan sebotol vodka. Daripada menangis, saya lebih menentukan untuk merayakan ketidakhadirannya. Ada rasa hangat yang mengalir, seusai saya meneguk gelas kelima. Kunikmati hangat yang tersebut sambil menanti munculnya lelaki kedua puluh enam untuk menjemputku pergi makan malam (hlm. 107).
Warna menggantungkan hidupnya pada Prabu, lelaki beristri dan memiliki tiga orang anak. Ia merasa kondisi demikian menghasilkan hidupnya sempurna, beruntung, dan berbahagia. Sesungguhnya, kehidupan yang dijalaninya ialah kompensasi dari kehidupan masa lalunya. Dulu ia hidup miskin dan cuma bisa tinggal di kos-kosan. Sekarang ia tidak perlu kuatir dengan duit dan tinggal di apartemen mewah. Tapi untuk meraih semua itu, ia terpaksa memasarkan keperawanan, bersedia menjadi wanita piaraan lelaki beristri, dan menebalkan paras serta telinga.
Persetanlah.
Karena saya tahu...
aku PANTAS, sayang. (hlm. 127).
Itulah sebabnya kisah wanita berjulukan Warna ini diberi judul Pantas.
Dan lagi-lagi, pengarang menghasilkan kita kesal. Mengapa nama Idan berubah-ubah menjadi Karmen? (hlm. 111).
Laksmi mencari kebahagiaan namun tidak kunjung menemukannya. Dua tahun menikah dengan Panji, ia belum punya momongan. Panji memang tetap menjadi suami yang baik, ia tidak mencari cinta di luar rumah, namun hal ini tidak menghasilkan Laksmi bersyukur. Mendadak lelaki yang namanya dijadikan judul cerpen ini, Bara Pati, timbul dalam kehidupan Laksmi. Dan beruntungnya, lelaki berwajah oriental itu menghasilkan Laksmi mendapatkan kebahagiaan. Tapi, bagaimana dengan Panji? Apakah suaminya rela dikhianati? Lagi pula, siapa sebenarnya Bara Pati? Cerpen ini sejatinya akan lebih memukau jikalau pengarang bisa menyembunyikan identitas Bara Pati dan gres mengungkapkannya di pecahan akhir. Dari sisi penulisan, semestinya konsisten kalau mau memperlihatkan cetak miring (halaman 139-140 terperinci tidak konsisten).
"Nanti kalau saya terlahir kembali, saya mau jadi kucing, ah. Seperti Penelope Cruz di film Vanilla Sky yang dahulu kita pernah nonton. Ingat nggak, Mas? Nanti kau pungut dan pelihara saya ya, hihi…” Itulah yang dibilang Milka -perempuan yang yakin reinkarnasi- pada kekasihnya, Joshua -yang membenci kucing (hlm. 156-157). Setelah lima tahun berpacaran, Milka belum mendapatkan kejelasan korelasi mereka. Memang bukan korelasi yang simpel karena Jo berasal dari keluarga terpandang sedangkan Milka dari keluarga awut-awutan yang tidak terperinci asal-usulnya. Milka sendiri tidak berupaya untuk mendapatkan respek dari keluarga Jo, melakukan pekerjaan selaku penari dan mabuk-mabukan. Tidak heran kalau alhasil Jo meninggalkannya dan menikahi wanita opsi keluarga, Fiona. Satu-satunya milik Milka yang dibawa Jo ke dalam kehidupan pernikahannya yakni Hana, kucing yang dilahirkan Chica (kucing milik Milka). Mungkinkah Hana yakni Milka yang terlahir kembali? Apa yang mau terjadi dalam hidup Jo dengan kehadiran Hana? Horor di pecahan epilog cerpen ini cukup mengejutkan. Satu catatan: Hana -nama kucing itu, disebutkan ialah adonan nama Joshua dan Fiona (hlm. 173). Pertanyaanya: bagaimana Joshua dan Fiona digabung dan menjadi Hana?
Jujur saja, sukar bagi saya untuk menggemari cerpen-cerpen dalam kumpulan cerpen ini. Selain intinya tidak cukup menarik, teknik penghidangan pun masih sangat biasa dan condong datar. Penambahan rangkaian kalimat yang tidak penting pun terasa mengganggu, terlebih kalimat-kalimat puitis yang tidak ada kontribusinya selain memanjangkan cerita.
Menulis cerpen memang bukan hal yang gampang. Tidak seumpama novel, kalimat-kalimat dalam cerpen dilarang boros, dan dalam durasinya yang singkat, mesti bisa disimpulkan. Latihan, dan terus mengasah kesanggupan sungguh penting untuk bisa menulis cerpen yang baik. Dan itulah yang dikehendaki Sagita Suryoputri mengingat Barbitch yakni kumpulan cerpen pertamanya.
Sagita Suryoputri pernah melakukan pekerjaan selaku pramugari selama lima tahun di dua maskapai penerbangan swasta ternama di Indonesia. Ia yakni pemilik kedai bir dan pasta berjulukan Beergasm di Kemang, Jakarta Selatan, yang ia sebut dalam salah satu cerpennya, BFF (hlm. 34).
Sagita Suryoputri pernah melakukan pekerjaan selaku pramugari selama lima tahun di dua maskapai penerbangan swasta ternama di Indonesia. Ia yakni pemilik kedai bir dan pasta berjulukan Beergasm di Kemang, Jakarta Selatan, yang ia sebut dalam salah satu cerpennya, BFF (hlm. 34).
