Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Seperti Dendam, Rindu Mesti Dibayar Tuntas



Judul Buku: Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas 
Pengarang: Eka Kurniawan 
Editor: Mirna Yulistianti 
Tebal: 243 halaman 
Cetakan: 1, Mei 2014 
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama




Ajo Kawir mengalami disfungsi ereksi, momok yang paling angker bagi kaum pria. Burungnya tidak dapat ngaceng. Sudah banyak sekali cara ditempuh Ajo Kawir menyerupai masturbasi di depan foto artis seksi, mengoles dengan serpihan cabe rawit, menyengat dengan lebah, membaca koleksi stensilan Iwan Angsa, bahkan mempergunakan kesanggupan pelacur. Tapi burungnya tetap tidak dapat bangun. 

Si Burung berpikir dirinya seekor burung kutub yang mesti tidur usang di animo hambar yang menggigilkan. Ia memimpikan butir-butir salju yang turun perlahan, yang tak pernah dilihat oleh tuannya. (hlm. 1-2). 

Saking frustrasinya, Ajo Kawir nyaris memotong burungnya. Untunglah langkah-langkah nekat itu tidak jadi ditangani lantaran dipergoki Si Tokek. BFF-nya inilah yang menyadarkan Ajo Kawir untuk tidak telalu mempermasalahkan burung kebluk itu. 

Suatu ketika, burungmu akan berdiri lagi. Percaya saja, Lagipula, jikalau kini bisa berdiri, memangnya mau kau gunakan untuk siapa? (hlm. 41). 

Bagaimanapun, Si Tokek merasa bersalah terhadap Ajo Kawir. Karena dialah burung Ajo lebih senang tidur daripada berkicau. Saat berusia permulaan belasan tahun, Si Tokek mengajak Ajo Kawir mengintip apa yang terjadi di rumah Rona Merah, wanita yang menjadi sinting sehabis janjkematian suaminya, Anton Klobot, seorang perampok. Meskipun sinting, tidak membatasi dua polisi -Si Pemilik Luka dan Si Perokok Kretek- untuk memerkosa Rona Merah. Apesnya, mereka tertangkap berair sedang mengintip. Maka, sehabis memerkosa Rona Merah, kedua polisi cabul itu memaksa Ajo Kawir untuk memerkosa Rona Merah juga. Mungkin lantaran takut atau terkejut menyaksikan selangkangan Rona Merah, burung Ajo Kawir pun terkulai malu.  ... sejak hari itu kemaluan Ajo Kawir tak pernah bisa berdiri. Tetap tak berdiri walaupun dua belas pelacur telanjang di depannya, dan segala hal sudah dicoba untuk membangunkannya.  (hlm. 29-30). 

Bertahun-tahun sehabis Si Tokek berhasil menenangkan dirinya, Si Burung yang asyik terlelap menjadi duduk kendala lagi. Bagaimanapun, Ajo Kawir laki-laki, sekalipun burungnya tidak dapat berkicau. Makanya, dikala ia berjumpa cewek petarung berjulukan Iteung, ia jatuh cinta. Ajo bisa bikin puas Iteung menggunakan jarinya, namun tidak cukup bagi Iteung. Sesakti apa pun jari Ajo Kawir, Iteung tetap memerlukan burung yang lincah. Tak pelak lagi, frustrasi menguasainya lagi, dan Ajo Kawir kian nekat, kepengin menghajar orang. Apalagi sehabis mereka menikah, Iteung hamil, padahal mereka tidak pernah bersetubuh. 

Apakah ceritanya selsai di sini? Oh, tentunya belum. Setelah Iteung tertangkap berair hamil lantaran lelaki yang bukan dirinya, Ajo Kawir sudah menjadi supir truk  antarkota, dari Jawa hingga Sumatra. Ajo sudah berubah sehabis ditempa oleh suatu pengalaman hidup yang memisahkannya dengan Iteung. Ia lebih bisa mengerti jalan sunyi yang diseleksi burungnya.  "Apa kabarmu hari ini, Burung? Jika kau masih ingin tidur, tidurlah yang lelap. Aku tak akan menganggu tidurmu." (hlm. 127). 

Sebagai keneknya, Ajo Kawir menegaskan Mono Ompong, anak muda bertemperamen tinggi yang senantiasa ingin tau dengan masa kemudian bosnya. Mono Ompong memusuhi supir truk lain, Si Kumbang, yang bertujuan membokongnya.  Saat sesuatu terjadi pada Mono Ompong yang menjadikannya istirahat selaku kenek, posisinya digantikan oleh Jelita, wanita absurd yang tiba-tiba -entah darimana datangnya- sudah berada dalam truk Ajo Kawir. 

Perempuan itu tak menyerupai namanya, sama sekali tak bisa dikatakan jelita. Siapa pun yang memberi nama Jelita untuk wanita ini, begitu Ajo Kawir senantiasa berpikir, niscaya sedang menghasilkan dagelan hebat. Perempun ini buruk. Ia tak perlu menggambarkan menyerupai apa mukanya, namun menurut Ajo Kawir, wanita ini buruk. Ia tak percaya wanita ini berkata jujur. Lari dari suami? Apakah di atas paras bumi ini ada lelaki yang akan kawin dengan wanita begini? (hlm. 212). 

Siapakah Jelita? Benarkah ia lari dari suaminya? Atau ia orang suruhan Paman Gembul yang juga merasa bersalah lantaran secara tidak eksklusif sudah menghasilkan Ajo Kawir impoten? Eka Kurniawan membiarkan identitas wanita itu tak terjelaskan. Ajo Kawir memiliki praduga sendiri (hlm. 240) namun tetap tidak menampilkan balasan bikin puas perihal siapa bahwasanya Jelita. Yang terpenting di sini, Jelita memegang peranan yang sungguh signifikan dalam transformasi yang dialami Ajo Kawir. Itulah sebabnya, sebelum ditampilkan orangnya, Eka sudah mengisyaratkan keberadaannya sejak awal. 

Jadi, apakah burung Ajo Kawir akan bangkit dari tidurnya yang panjang? Benarkah, menyerupai yang diyakini Paman Gembul dan Iteung, satu-satunya cara memulihkan Ajo Kawir yakni memperoleh kedua polisi cabul yang memerkosa Rona Merah dan menghabisi mereka? Anda bisa memperoleh sendiri jawabannya dengan membaca lengkap novel ketiga Eka Kurniawan ini. 

Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas bukanlah novel biasa. Setelah dibuka dengan rangkaian kalimat memanggil yang eksklusif menohok permasalahan inti, kita akan mengikuti kisah lelaki impoten yang disampaikan secara blakblakan. Segala kendala perihal burung  dan memek akan disampaikan apa adanya. Kata-kata menyerupai ngaceng, pelber (baru nempel eksklusif nyembur), dan lonte akan disampaikan dengan enteng dan tanpa basa-basi. Demikian pula adegan-adegan seks yang bermunculan memanaskan plot. Vulgar memang, sudah terang dan tidak dapat disangkal, namun jujur dan apa adanya. Mungkin, kevulgaran memang tidak dapat dilepaskan dari lingkup pergaulan para tokoh utama novel, jadinya apa yang dibeberkan dalam novel ini bisa dikatakan lumrah. 

Bagi sementara pembaca, mungkin akan menilai gaya berkisah Eka Kurniawan hal yang biasa. Cukup menikmati dan dan tertawa sepuasnya. Tapi mungkin, bagi pembaca tertentu, agak sukar untuk menerima, bahkan merasa jijik. Hal yang lumrah, selumrah kevulgaran novel ini. Saya sendiri merasa jijik -siapa yang tidak?- di saat membaca adegan Ajo Kawir sedang berak dan tainya ke mana-mana. 

Kosakata vulgar, problematika burung yang tidak dapat berkicau, dan kebrutalan yang menyertainya, dimunculkan Eka Kurniawan dalam plot maju-mundur yang bergerak agresif. Perpindahan adegan yang rapat dengan simpel bisa dipahami, menampilkan kesan kita sedang mengikuti suatu film dengan kejutan yang diungkapkan di sana-sini. Penggunaan kalimat-kalimat pendek namun efektif memperkuat kesan ini. Eka Kurniawan memang tidak mengggunakan kalimat-kalimat panjang menyerupai dalam Cantik Itu Luka (2002) dan Lelaki Harimau (2004). 

Kebiasaan Eka menggunakan huruf dengan nama-nama yang unik dan sering merupakan julukan ditunjukkan juga di sini. Ajo Kawir, Si Tokek, Iwan Angsa (ayah Si Tokek), Iteung, Jelita, Mono Ompong, Si Kumbang, Si Macan (mantan penjahat), Paman Gembul (yang meminta Ajo Kawir untuk membunuh Si Macan), Rona Merah, Agus Klobot, Budi Baik (sesama petarung yang mengasihi Iteung), Si Janda Muda, Perokok Kretek, dan Pemilik Luka yakni nama-nama yang imajinatif. Setiap nama menjadi tidak terlewatkan lantaran punya tugas masing-masing. Setiap nama diperhitungkan dengan baik kemunculannya,dan utamanya nama-nama yang tidak berperan utama, menampilkan dukungan pada tindakan, pemikiran, dan transformasi dalam hidup para huruf utama. 

Judul novel yang panjang dengan simpel akan menempel di pengecap dan ingatan. Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas sesungguhnya melukiskan problematika yang dialami Ajo Kawir selaku lelaki impoten yang mengharapkan kemaluannya bisa ereksi lagi (dan digunakan juga, tentu saja). Itulah sebabnya, sampul novel yang dirancang Eka Kurniawan sendiri, tergolong ilustrasinya, bahwasanya termaktub pada truk Ajo Kawir. Gambar seekor burung yang sedang tertidur pulas, nyaris menyerupai burung mati, dan di atasnya ada goresan pena "Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas".