Bangkok
Judul Buku: Bangkok
Pengarang: Moemoe Rizal
Editor: Ibnu Rizal
Tebal: viii + 436 hlm; 13 x 10 cm
Cetakan: 1, 2013
Penerbit: GagasMedia
Sudah sepuluh tahun Edvan Wahyudi meninggalkan keluarganya -ibu dan Edvin, adik laki-lakinya- untuk mengejar-ngejar karier selaku arsitek di Singapura. Ia meninggalkan keluarga lantaran tidak senang ibunya yang sudah mencegahnya menyelamatkan warisan mendiang ayahnya dan memamerkan keleluasaan terhadap Edvin untuk mengekspresikan dirinya selaku transgender. Kabar simpulan hidup ibunya memaksanya pulang ke Bandung untuk menghadiri pemakaman ibunya. Tapi setibanya di Bandung, ibunya sudah dimakamkan dan ia tidak sempat menyaksikan jasad ibunya untuk yang terakhir kalinya.
Edvin yang sudah merubah namanya menjadi Edvina dan tampil selaku perempuan dengan kemiripan tidak terbantahkan dengan ibu mereka menjumpai Edvan dan menyodorkan amanat sang ibu. Ia menyerahkan jurnal berjudul The End yang ditulis pada selembar kertas kalender bulan September 1980. Artika Sulistika, sang ibu, pernah berada di Bangkok, Thailand, selama delapan bulan untuk menjalankan riset semasa kuliah. Di sana ia berkenalan dengan sejumlah orang dan berjumpa dengan lelaki yang menjadi ayah dari Edvan dan Edvin. Sebelum meninggalkan Bangkok, ia sudah menulis tujuh jurnal, menenteng jurnal ketujuh dan menitipkan enam jurnal yang lain terhadap orang-orang yang dikenalnya di kota itu. Di setiap penghujung jurnalnya, Artika mengungkapkan identitas penyimpan jurnal sebelumnya dan kawasan tinggalnya.
Sebelum meninggal, lewat Edvin, Artika meminta anak sulungnya yang sudah menghilang selama satu dekade untuk menghimpun semua jurnal yang disebarkannya di Bangkok. Jauh di dalam hatinya, Edvan tetap mengasihi ibunya, dan itulah sebabnya ia bersedia menjalankan amanat Artika. Padahal, bukan hal yang praktis mencari peninggalan ibunya yang sudah berusia lebih dari tiga puluh tahun. Bagaimanapun, Bangkok sudah mengalami perubahan, demikian pula orang-orang yang menyimpan jurnal. Edvan mengambil cuti dari kantornya dan pergi bareng dengan Edvin ke Thailand. Tentu saja sesuai amanat Artika, Edvan-lah yang hendak mencari jurnal. Edvin sendiri hendak pergi ke Pattaya untuk mengikuti lomba waria, Miss International Queen.
![]() |
| Grand Palace |
Edvan pernah mendatangi Bangkok, namun tidak memedulikan lekuk liku kota lima puluh distrik itu. Maka untuk memandunya, ia menyewa jasa Chananporn Watcharatrakul, gadis 26 tahun, mantan pramugari yang pernah kuliah di Indonesia. Charm, nama panggilan gadis charming itu, tinggal bareng Max, adik laki-lakinya, dan melakukan pekerjaan serabutan untuk menyanggupi keperluan hidup mereka.
Maka bareng Edvan dan Charm, kemudian dengan Max, lantaran Charm acap kali mesti meninggalkan Edvan, kita akan mengikuti perjalanan seorang lelaki berusia 30 tahun, berupaya menerima enam jurnal yang ditulis ibunya. Seiring dengan perjalanannya, ia akan mengelupas masa kemudian sang ibu, dan mengerti langkah-langkah serta keputusan yang pernah diambil perempuan itu, terkait warisan suaminya dan hidup anak bungsunya selaku transgender. Ia akan mengerti pentingnya keluarga, persaudaraan, persahabatan, dan juga cinta.
Mengapa cinta? Karena sejak pertama kali berjumpa dengan Charm, Edvan sudah jatuh hati. Ia menerima sosok perempuan yang berlainan dari perempuan yang pernah dikenalnya dalam diri Charm. Sayangnya, Charm tidak bertujuan merespons secara positif perasaan Edvan. Ia menolak lelaki itu dan bertekad tidak melalui garis profesional yang bikin konferensi mereka. Bagaimanapun, perilaku Charm memamerkan dampak yang signifikan terhadap Edvan, dan tanpa dicegah, menghantam mundur semangat lelaki itu untuk menerima semua jurnal ibunya.
Apakah semua jurnal yang disebarkan Artika di Bangkok bisa ditemukan? Ataukah Edvan mesti mengalah dan mendapatkan kenyataan kalau ia terpaksa gagal menunaikan amanat ibunya? Benarkah jurnal-jurnal itu akan mengungkapkan warisan yang sebenarnya bagi Edvan? Semua balasan dari pertanyaan yang mungkin akan berkecamuk dalam pikiran setiap pembaca selama mengikuti plot dari novel Bangkok karya Moemoe Rizal ini akan terjawab tuntas begitu novel ini bisa dikhatamkan.
Secara langsung saya berani menyatakan bahwa dari semua novel Setiap Tempat Punya Cerita -baik yang diterbitkan GagasMedia maupun Bukune- yang sudah saya baca, Bangkok yakni yang terbaik dan paling mengesankan. Kisah di dalam novel ini, formasi karakternya, plot yang dirancang sang pengarang dan cara penyajiannya yang luwes terus-menerus mendorong saya untuk menamatkan novel ini. Kisahnya memiliki pertentangan menawan yang tidak sepenuhnya bermain di wilayah romansa. Keluarga, persaudaraan dan pertentangan internalnya memamerkan novel ini daya pikat yang di tempat-tempat tertentu bikin terharu sekaligus menghangatkan hati. Dalam penuturannya yang kocak dan kerap menghalalkan kata-kata vulgar, pengarang bisa mengikat perhatian dan simpati pembaca, saat pelan-pelan, seiring perguliran plot, kekerasan hati Edvan melumer dan bisa mendapatkan realita.
Menyinggung penggunaan kosakata vulgar, bagi saya, mai pen rai (=tidak masalah). Memanfaatkan Edvan selaku narator orang pertama yang menjalin persahabatan dengan orang bermulut asusila menyerupai Stevan, kata-kata vulgar menjadi sungguh masuk akal dan bisa diterima. Malah akan terasa aneh apabila ia bertutur sarat kesantunan dan basa-basi yang hendak menjadikannya menjadi narator yang tidak jujur.
Mengangsurkan kisah terdiri dari karakter waria, pengarang menjajal melerai pro dan kontra eksistensi kaum waria. Ia tidak membela habis-habisan kehidupan bencong yang ditonjolkan lewat karakter Edvin, namun ia menjajal memamerkan perspektif berbeda. Bagaimana kalau secara genetis seseorang dilahirkan untuk menjadi bencong alias ladyboy?
Kenapa mesti dipertanyakan? Bukan saya yang bikin diriku sendiri. Aku nggak punya balasan (Edvin, hlm. 25).
Seolah Tuhan memang sengaja bikin mereka. Seolah memang ada gender ketiga selain lelaki dan perempuan (Edvan, hlm. 386).
Pengarang tidak menerangkan proses inovatif yang ditempuhnya dalam penulisan novel ini. Apakah ia pernah menginjakkan kakinya di Bangkok, ataukah ia melukiskan Bangkok dalam novel ini cuma menurut riset saja? Apapun jawabannya, selama berupaya menamatkan novel ini, saya merasa sedang bareng para karakter novel menyusuri Bangkok untuk menghimpun jurnal yang ditulis Artika. Dari SamphanThawong, Sukhumvit, Thon Buri sampai Pattaya. Mengagumi tanda mata sejarah berupa kuil-kuil dan patung Budha, kemudian menyaksikan Bangkok sambil menyusuri sungai Chao Phraya.
Ada hal yang luput dari penyuntingan dan yang mengusik pembacaan.
Jurnal yang disimpan Apsara, gadis berbakat dari Thon Bori utara, sebaiknya ditulis pada April 1980, bukan April 1992 (hlm. 350). Khun Ungsowat pada kalimat "Sewaktu Khun Ungsowat kisah soal Ibu, saya cuma bisa nangis..." (hlm. 405) sebaiknya Apsara, lantaran Apsara yang menceritakan soal Artika pada Edvin. Lagi pula, Ungsowat kan sudah meninggal.
Yang mengganggu, pertama, mengapa mesti ada dua perempuan yang terkena kanker payudara? Kalau perempuan yang kedua mesti dibentuk sakit, memangnya tidak ada penyakit lain? Kedua, mengapa semua jurnal yang ditulis Artika mesti dicetak dengan karakter versi goresan pena tangan yang tidak tenteram dibaca?
![]() | ||||||
| Moemoe Rizal |
Tentang Pengarang:
Bangkok adalah buku keenam Moemoe Rizal yang diterbitkan GagasMedia. Sebelumnya, ia sudah meluncurkan buku Satu Cinta Sejuta Repot, Oh Baby, Outrageous, Jump, dan Fly to the Sky. Ketiga judul terakhir menjadi judul-judul pecahan dalam Bangkok.



