People Like Us
Judul Buku: People Like Us
Pengarang: Yosephine Monica
Tebal: 330 halaman: 19 cm
Cetakan: 1, Juni 2014
Penerbit: Penerbit Haru
"Kanker dan cinta punya kesamaan, tidakkah kamu sadar?"
"Apa itu?"
"Jika mereka terlalu kuat, kamu tak bisa merusak mereka, namun mereka bisa menghancurkanmu." (hlm. 257).
Amelia Collins atau Amy, gadis cerdas balig cukup akal 15 tahun, dimengerti orang-orang alasannya yaitu dua hal. Pertama, ia bahagia menulis fiksi cerdas balig cukup akal yang tidak satu pun ditamatkan, tidak pernah dipublikasikan kecuali diangkut di blog. Kedua, ia menggemari anak laki-laki sebaya berjulukan Benjamin Miller atau Ben. Ben, sang cinta pertama, dikenalnya dikala berumur 12 tahun, ketika mengikuti kursus musik. Setelah Ben dan keluarganya meninggalkan Newton dan pindah ke Boston, Amy tidak pernah lagi melihatnya hingga dikala Ben memasuki high school yang serupa dengannya di Boston. Sayangnya, di saat bertemu, Ben tidak mengetahui Amy.
Pada tahun kedua di high school, Amy didiagnosis mengidap kanker limfa. Ia pun meninggalkan sekolah, dan kelak cuma sempat tiba dikala menyaksikan pertarungan bisbol dan menghadiri pesta dansa sekolah. Teman-teman Amy yang mengetahui perasaan Amy pada Ben, memaksa Ben untuk menjenguknya di rumah sakit. Mereka ingin Ben menjalin pertemanan dengan Amy, walaupun terasa gila bagi Ben untuk berteman dengan gadis yang pernah menjadi penguntitnya. Tapi, justru di sinilah kawasan disemaikannya benih kekerabatan mereka.
Pada umur enam tahun (catat: enam tahun!), Ben sudah berkhayal menjadi penulis. Ia sudah menjajal menulis namun terbentur pada sulitnya merangkai kalimat. Akhirnya, karena tidak mendapat donasi keluarga, ia berhenti menulis dan mengaktifkan diri dalam klub sepak bola sekolah. Setelah membaca cerita-cerita yang dikarang Amy dan menjalin percakapan dengan gadis itu, kesempatan Ben menjadi penulis terbit lagi. Berlawanan dengan keluarganya, Amy menyemangati kesempatan Ben. Bahkan, dengan antuasias ia menolong Ben menulis. Ben yang sulit payah menghadapi dunia, merasa tidak ada orang yang pernah mengetahui dirinya, apalagi keluarganya, merasa mendapatkan orang yang dibutuhkannya.
People Like Us ditulis oleh pengarang belia, Yosephine Monica (kelahiran 1997), dan ialah pemenang persaingan menulis bertajuk 100 Days of Romance (tahun 2013) yang diadakan Penerbit Haru. Sebagaimana termaktub dalam tajuk persaingan ini, People Like Us yaitu suatu novel roman yang dalam hal ini melibatkan dua tokoh utama yang masih sungguh belia. Tapi, kendati kedua tokoh utama masih berusia 15 tahun, kisah di dalam novel ini tidak terpuruk menjadi kisah cerdas balig cukup akal yang dangkal. Romansa di antara Amy dan Ben yang tidak segampang membalikkan telapak tangan dijalin bareng kesempatan mereka dan utamanya Ben, kekerabatan personalnya dengan anggota keluarganya.
Sesungguhnya, walaupun berbakat menulis yang ia sebut selaku terapi baginya, Amy yaitu penulis minder. Ia tidak berani menjajal menerbitkan karyanya, dan dengan argumentasi klise, tidak pernah menamatkan cerita-ceritanya. Sedangkan Ben, kendati berkhayal menjadi penulis, belum cukup punya kesanggupan menulis dan tak mempunyai peluang untuk mengasahnya. Pertemuan mereka menjadi indah alasannya yaitu Ben bisa mencar ilmu menulis pada Amy dan sebaliknya, Amy mendapat pasangan yang mau menyempurnakan ceritanya. Cinta cuma menjadi bonus, yang bahkan tidak dapat dirasakan Amy sepenuhnya.
Berteman dengan Amy tidak cuma menghasilkan Ben mendapat peluang mengasah kesanggupan menulisnya. Tapi juga memberi energi faktual yang menghasilkan Ben bisa menghadapi tantangan untuk bisa dimengerti sekaligus mengetahui keluarganya. Dan yang lebih penting dari itu yaitu memberi peluang bagi Ben untuk menjangkau masa depannya.
Pada balasannya kisah cerdas balig cukup akal yang klise bermetamorfosis kisah yang berbobot dan yummy dibaca. Hal ini kian menawan alasannya yaitu disokong oleh kesanggupan Yosephine merangkai kalimat yang kerap menghasilkan takjub dikala membacanya. Caranya membuka kisah dalam setiap penggalan yang seperti memperlihatkan narator di luar dongeng mengesankan jikalau bergotong-royong kita sedang mendengar dongeng yang disampaikan narator tersebut dan bukan membacanya. Setelah mulanya terasa mengganggu, lambat laun kita akan menjadi sudah biasa dan menikmatinya.
Sejatinya, kisah di dalam novel ini bisa terjadi di lokasi lain mana pun, bukan cuma di Boston atau Newton saja. Tidak ada bagian di dalam novel ini yang tidak dapat dilepaskan dari seting Amerika yang dipinjam Yosephine. Dan di sinilah anehnya novel ini. Mengapa mesti memakai Amerika selaku seting? Apakah Indonesia tidak memadai? Apa pun alasan pengarang, keputusan memakai Amerika selaku seting tidak lebih dari kelatahan mengikuti apa yang sudah dilaksanakan pengarang-pengarang novel roman yang lain di Indonesia belakangan ini. Menggunakan seting luar negeri, sekalipun mereka belum pernah menginjak kawasan itu. Dan apa pun alasan para pengarang (dan bukan pengarang) yang yakin bahwa seting lokasi bisa diciptakan dengan cara riset (misalnya memakai internet), saya belum pernah merasa puas dengan novel-novel dengan seting mancanegara semacam ini.
24 Juli 2014: Remaja/Keluarga
